'married by accident'

Perkawinan dan Penjara Emas Kaum Perempuan
Oleh: Alia Swastika


Given that singlehood and living together have been largerly destigmatized, why do so many women still bother to get married? Why we do have to justify the reasons we get married?

Amy Richards and Jeniffer Baumgarner

 
Siapa perempuan kota usia muda yang tidak menggemari serial “Sex and the City” di kisaran tahun 2000an itu? Ketika serial ini pertama kali muncul, para tokohnya masih muda, sekitar awal 30 tahun, dan beberapa mungkin beberapa tahun lebih usianya. Dengan latar belakang kota New York yang gemerlap, dengan cerita romans yang menggoda, serial ini dengan segera menjadi salah satu produk budaya yang populer pada dekade ini. Inilah salah satu serial yang dengan tepat dan jitu memotret gagasan tentang perempuan urban masa kini, sesuatu yang awalnya hanya menjadi gejala sosial yang sulit terbahasakan.

Di awal kisah ini dimulai, dinamika kehidupan empat perempuan lajang merupakan tema utama yang bagi saya, merefleksikan banyak soal yang dihadapi banyak perempuan di seluruh penjuru dunia, terutama mereka yang hidup di kota-kota besar. Mereka menghamparkan kisah tentang mimpi dan harapan, tentang kenangan dan perasaan, sehingga bertaut dengan kehidupan nyata banyak perempuan. Seperti sebuah potret yang melawan stereotipe perempuan di generasi selanjutnya: dimana pernikahan dan keluarga adalah sesuatu yang nyaris tak terhindarkan. Empat perempuan ini seperti berseru: hidup lajang adalah kemewahan, sebuah ruang lapang yang menjanjikan beragam pengalaman dan petualangan.



Sayangnya, ketika kemudian serial ini diangkat ke layar lebar, saya mendapati kenyataan pahit: ternyata mimpi hidup lajang itu cuma bagian masa lalu, hampir semua tokoh, kecuali Samantha yang memang terbilang paling liberal, pada akhirnya menikah dan terkesan hidup bahagia sempurna dengan anak dan suaminya. Apakah semua kisah hidup perempuan harus berakhir seperti itu? Apakah perkawinan merupakan muara kehidupan perempuan?

Saya sendiri kemudian memikirkan banyak hal berkaitan dengan tema perkawinan ini, terutama dalam konteks kehidupan masyarakat yang agak serba tanggung seperti di Indonesia, antara yang merefleksikan kehidupan modern dan masih berpegang pada nilai tradisional, antara yang abangan dan terkekang aturan agama, dan berbagai ketegangan lain yang menyaran pada situasi-situasi antara.

Barangkali, di luar pembahasan berbagai isu dan persoalan yang terutama berkait dengan pemenuhan hak dan kesetaraan, persoalan-persoalan personal (yang sesungguhnya bersilangan juga dengan pranata sosial) semacam pernikahan ini tetap saja merupakan isu yang krusial dalam kehidupan seorang perempuan. Bagi saya, inilah yang selalu menarik dari isu feminisme: ia selalu merangkak masuk ke dalam ruang personal, dan sekaligus mempertegas samarnya batas-batas antara yang domestik dan politis. Membicarakan pernikahan, misalnya, kita tidak bisa semata-mata menariknya ke dalam wilayah cinta dan romantisme, atau lingkaran seksualitas: apa yang tersembunyi jauh lebih kompleks dari pada itu. Pernikahan adalah tentang bagaimana Negara punya kepentingan atas tubuh dan identitas perempuan, tentang bagaimana berbagai perbedaan dijembatani dan diatasi, tentang pertukaran sosial ekonomi yang berlangsung di dalamnya.

Karenanya, apa yang ditampilkan oleh kelompok Simponi ini, dalam pandangan saya adalah sebentuk refleksi tentang bagaimana pernikahan diberi makna pada generasi perempuan masa kini. Seluruh anggota kelompok ini berada dalam rentang usia antara pertengahan 20an dan belum mencapai 30an. Rentang usia yang sekarang mulai dipenuhi dengan banyak pertanyaan dan dering ‘lonceng biologis’. Ini adalah sebuah pameran yang mendasarkan diri pada cerita-cerita sederhana yang dijumput dari kehidupan sehari-hari dalam lingkup pergaulan yang paling dekat dengan mereka. Ringkasnya, karya-karya dalam pameran ini merupakan refleksi dan pernyataan diri.

 *****

Gagasan untuk menggali tema pernikahan diawali ketika kami menyadari bahwa usia kami makin diteror dengan pertanyaan tentang kapan kami akan menikah setiap kali kami pergi ke pertemuan keluarga. Tentu saja, lama kelamaan pertanyaan ini menjelma sebagai teror. Mengapa kami harus menikah?

Atau, tepatnya, mengapa kami harus menikah pada waktu-waktu ini? Mengapa perempuan yang menikah kemudian terlihat tidak ‘normal’?

Kami melakukan beberapa kali pertemuan untuk mendiskusikan tema ini dengan mendalam, terutama mengaitkannya dengan metafor visual yang bisa diangkat dalam pameran. Saya merasa saya demikian menikmati diskusi-diskusi yang terjadi di antara kami. Saya merasa bahwa proses mempersiapkan pameran ini menjadi sebuah proses yang dekat dengan kehidupan kami sendiri, yang terasa tidak muluk-muluk, tapi justru membawa kami pada proses pencarian jawaban yang tidak mudah.

Dalam kehidupan di lingkungan sekitar, peristiwa pernikahan justru acap memberi semacam teror dan ketakutan kepada kelompok perempuan muda. Beberapa contoh dengan segera menunjuk bagaimana ambisi menaklukan dunia seringkali hilang ditelan rutinitas dan norma-norma dalam pernikahan itu. Sebagian besar perempuan menukar kebebasan dan kemandiriannya dengan rasa aman. Hal ini menginspirasi lahirnya karya Mahar, yang merupakan instalasi berupa jantung perempuan terbuat dari resin mengkilap. Ketujuh jantung ini memiliki penanda teks yang masing-masingnya berbunyi: sex, faith, insane, immortal, tranquility, money, sanity.

Karya ini seperti memberikan sindiran bagaimana perkawinan acap dilihat sebagai peristiwa ‘ekonomi’, dalam pengertian, ada komoditas yang dipertukarkan, dan ada tujuan-tujuan ekonomi pula yang ingin diraih. Dalam tradisi Jawa, ada yang disebut sebagai sesrahan, dimana si pengantin pria memberikan beberapa barang yang melambangkan kebutuhan perempuan (yang biasanya berupa kosmetik, baju dalam, tas, sepatu, serta perlengkapan mandi), yang dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana laki-laki diposisikan untuk mengambil alih tanggung jawab terhadap kehidupan perempuan. Mengganti komoditas sehari-hari dengan sesuatu yang esensial seperti jantung menunjukkan ada sebentuk kritisisme dari para perempuan muda ini terhadap ide tentang pengalihan tanggung jawab tersebut.

Kemudian, dari soal lonceng biologis, yang sering menjadi bagian dari perbincangan tentang perkawinan, kami bisa mendedahkan rentang waktu kehidupan perempuan, yang acap kali tak bisa begitu saja dibatasi seenaknya antara petualangan, karir dan pekerjaan, hingga cinta dan pernikahan. Ada rentang usia tertentu ketika perempuan harus membuat keputusan-keputusan personal yang seperti mengejar deadline. Menggambarkan fenomena ini, Simponi dengan jitu membuat sindiran dengan karya berbentuk jam dinding yang akan berbunyi sesuai dengan siklus-siklus biologis perempuan: menstruasi, menikah, punya anak, menyusui, dan pengalaman ketubuhan lain. Itulah mengapa, ketika perempuan menikah dalam usia yang relatif beranjak dewasa, sering muncul sebutan ‘perawan tua’, sesuatu yang tidak dijumpai pada laki-laki.

Pernikahan juga acap dilihat sebagai masa ketika perempuan mulai dihadapkan dengan pilihan hidupnya sendiri, terutama karena kehidupan sosialnya yang mulai terbatasi. Tentu saja, berbeda dengan kehidupan pernikahan pada masa lalu yang lebih tertutup dan berlangsung dengan tata cara patriarkhis, kehidupan perkawinan masa kini masih membuka pintu pada eksistensi perempuan pasca menikah. Perempuan masih bisa memiliki pekerjaan, kehidupan sosial, dan bahkan waktu untuk dirinya sendiri. Meskipun demikian, ada tuntutan yang lebih untuk memasuki ranah-ranah domestik. Barangkali tidak semua perempuan akan merasakan hal ini sebagai ancaman, beberapa mungkin juga merasakan keterlibatan pada ranah domestic ini sebagai sesuatu yang mengasikkan.

Domestisitas inilah yang kemudian diolah ketiga anggota kelompok Simponi menjadi sesuatu yang estetis. Mereka menggunakan teknik-teknik yang sering dianggap domestik dan terlalu craft menjadi bagian yang penting, sesuatu yang sesungguhnya sejak awal banyak dikerjakan oleh Simponi, yaitu sulam, kruistik, dan jahit tangan. Pada pameran ini, mereka membuat teknik ini beranjak melampaui perannya sebagai teknik, serta membuatnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gagasan karya yang diwujudkan dalam sebuah ranjang yang dihias dengan elemen-elemen sulam di sekitarnya. Dalam wacana seni rupa, teknik-teknik yang macam ini biasanya dirujuk pada craft, tetapi Simponi bisa menunjukkan bahwa justru dengan menunjukkan ketertarikan mereka pada segi kepengrajinan ini, mereka bisa membawa sesuatu yang selama ini dianggap sebagai esensi dari identitas perempuan menjadi kualitas yang produktif.

Selain berbicara tentang perkawinan itu sendiri sebagai sebuah pranata sosial, karya-karya dalam pameran ini banyak berbicara tentang ritual atau pesta perkawinan itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri, dalam kenyataannya, peristiwa pesta pernikahan ini merupakan sesuatu yang dianggap sebagai ‘puncak’ dalam kehidupan seorang perempuan terutama dengan kepercayaan ‘tradisional’ bahwa perkawinan hanya berlangsung sekali seumur hidup. Dalam seluruh kebudayaan di dunia, tradisi pesta perkawinan merupakan perayaan besar dalam siklus hidup manusia. Para anggota kelompok Simponi mengeksplorasi penampilan perempuan dalam pesta perkawinan dari berbagai budaya, terutama untuk melihat bagaimana perempuan menjadi ‘penampil’ (performer) dalam peristiwa tersebut. Mereka menghiasi tubuh mereka dengan pakaian terbaik, membubuhkan riasan wajah dengan tebal dan penuh cahaya, mengatur rambut dengan berbagai hal yang di luar kebiasaan sehari-hari.
Menjadi pengantin selalu dikaitkan dengan mimpi abadi para perempuan, di mana mereka semenjak kecil telah mempunyai imajinasi diri sebagai pengantin perempuan dalam suasana pesta yang terbaik. Dalam karya dua dimensi Simponi, kita bisa melihat bagaimana para performer ini muncul dengan simbol visual pada wajah dan pakaian mereka yang setiap detailnya mempunyai makna tertentu.

Dalam khazanah ilmu antropologi misalnya, ritual perkawinan selalu ditempatkan pada wilayah yang sama pentingnya dengan ritual mendasar lainnya, yaitu kelahiran dan kematian. Selain eksistensinya yang beralih sebagai performer, dalam ritual pesta perempuan juga dengan harapan-harapan yang dikenakan padanya untuk ‘mengabdi pada suami’. Di Jawa, dikenal ritual membasuh kaki suami, yang menunjukkan pelayanan dan kemauan untuk berserah diri seorang istri pada suami. Simponi juga menggambarkan ritual-ritual semacam ini sebagai bagian dari kecemasan mereka atas lembaga perkawinan tersebut.

*****

Dalam dunia seni rupa kontemporer, kecenderungan seniman perempuan untuk mengangkat tema-tema yang personal, dalam pandangan saya merupakan sesuatu yang sesungguhnya merupakan modal dan kekuatan yang signifikan. Karya-karya seniman perempuan dalam ranah performance art, misalnya, menunjukkan betapa isu-isu yang personal ini selalu menghasilkan pencapaian yang patut ditandai. Banyak seniman perempuan yang menjadikan kesenian dan praktik-praktiknya sebagai media untuk mengekspresikan pikiran dan pandangan yang lahir dari refleksi dalam kehidupan sehari-hari.

Apa yang ditempuh oleh Simponi, menjadi isu dan kegelisahan personal tentang perkawinan, dapat dibaca dengan cara yang sama, hanya dengan nada yang berbeda. Jika sebagian besar seniman feminis menyampaikan gagasannya hampir seperti ‘berteriak’ terutama jika menggunakan telinga kaum perempuan muda, maka isu-isu perempuan dalam pameran ini lebih terasa rileks dan reflektif. Mereka tidak punya pretensi untuk marah kepada kaum laki-laki atau pada keseluruhan sistem sosial yang membuat perkawinan menjadi seperti penjara emas. Dengan cara tertentu karya-karya mereka lebih berbicara untuk membagi ketakutan dan kegelisahan, dan menampilkan cara pandang yang segar tentang lembaga pernikahan. Mereka punya harapan bahwa dengan dialektika yang seimbang antara perempuan dan laki-laki, maka ada kemungkinan perkawinan menjadi sebuah lembaga yang lebih adil bagi masing-masing individu.

Ini juga menyiratkan bahwa mereka bukan kelompok yang anti perkawinan, melainkan, mereka ingin menjabarkan problematika yang kompleks dalam institusi ini dalam kaitannya dengan mimpi dan memori puluhan juta perempuan masih hidup dalam ruang-ruang antara seperti di Indonesia. Meskipun terasa memberikan banyak himpitan, tetapi, menghadapi kehidupan yang makin keras dan tak tertebak arahnya, perkawinan masih memberikan ruang bagi manusia untuk menemukan sebuah ruang dimana kebersamaan selalu menyediakan rasa aman.

No comments:

Post a Comment